watch sexy videos at nza-vids!
WWW.CERITAINDO.SEXTGEM.COM

Find us On Facebook and Twitter
facebook.jpg | twitter.jpg

Cerita sexs
Hanya Dengan Dia Aku Bergairah

Jangan pernah berpikir Tut, aku akan
menceraikanmu. Kalau memang
maumu hendak menyiksa perasaanku,
mending kugantung saja perkawinan ini.
Dengan begitu, kita seri. Kamu bisa
bahagia dengan mencari di luar, begitu
pun denganku. Tapi soal status, jangan
lupa, kamu masih tetap istriku..
selamanya!
Kata-kata Mas Santoso tiba-tiba
mengiang di telingaku. Malam, sudah tua
benar. Jam di dinding kamar hotel yang
kutempati dengan Bram, kekasih baruku,
telah menunjukkan pukul 24.15. Tapi aku
masih termangu di depan jendela,
mencoba mengurai kembali perjalanan
hidupku. Dari keinginan orangtuaku
untuk mengawinkan aku dengan Mas
Santoso yang sebenarnya tak pernah
kucintai, sampai dengan sederet
petualanganku dengan lelaki lain yang
memberikan kenikmatan berlebih-lebih.
Entahlah, mungkin karena aku tak pernah
mencintai Mas Santoso, setiap ia
menuntut haknya sebagai suami, aku
selalu ogah-ogahan. Kalau toh harus
melayaninya, itupun kulakukan dengan
terpaksa. Hasilnya, sungguh jauh dari
memuaskan. Itu pula kesan yang
diperoleh Mas Santoso dariku. "Kalau
begini terus, bisa-bisa aku impoten.
Soalnya di atas ranjang, kamu tak
ubahnya sepotong batang pisang.
Dingin, kayak es", gerutu Mas Santoso.
Sejak menikah dengan Mas Santoso 4
tahun lalu, rasanya bisa dihitung dengan
jari aku melakukan hubungan suami-istri
dengannya. Terus terang, aku lebih
banyak menolak daripada melayani
hasrat seksualnya. Kalau toh mau, ya itu
tadi, dengan setengah hati. Artinya, aku
juga tak pernah bermimpi bisa
mendapatkan kenikmatan surga duniawi
saat berhubungan intim dengannya.
Sebaliknya jika melakukan dengan pria
lain, rasa yang kudapatkan sungguh
dahsyat luar biasa. Aku mampu
berperan aktif di ranjang. Mencoba
memuaskan pasanganku, dan sebaliknya
berharap kepuasan setimpal darinya. Tak
mampu kuingat lagi, dengan beberapa
pria yang bukan suamiku aku pernah
tidur bersama. Salah satunya adalah
Bram, seorang mahasiswa hukum
usianya terpaut 5 tahun lebih muda dari
usiaku sendiri yang sudah menginjak
kepala 3.
Aku kenal denga Bram karena ia kost di
rumah seorang tetangga. Posturnya
yang tinggi dan tegap, membuat
fantasiku melayang membayangkan
yang bukan-bukan. Sampai akhirnya
dengan seribu satu cara dan rayuan,
pemuda asal Flores itu dengan senang
hati kuseret ke atas ranjang.
"Kok ngelamun, apa yang Mbak
pikirkan?" Suara bariton Bram
membuyarkan lamunanku. Ternyata, ia
sudah terbangun dari lelapnya, setelah
sore tadi kami melewatkan permainan
babak pertama. "Di sini kitakan mau
senang-senang. Jadi kalau bisa, yang
lain-lain dilupakan dulu", rajuk Bram
sambil menarik tubuhku kepelukannya.
Dada Bram yang bidang, bulu-bulu
dadanya yang keriting dan gelap,
menimbulkan rasa geli serta getaran
hebat. Benar kata Bram, kenapa aku
mesti melamunkan sesuatu yang
seharusnya tak menyita pemikiranku
benar. Apalagi menurut keyakinanku,
Mas Santoso saat ini pun pasti tenggelam
dalam pelukan Sri, sekretaris di
perusahaan kontraktor miliknya. Saya
begitu yakin tentang hal itu, karena akhir-
akhir ini Mas Santoso sudah jarang
pulang. Salah seorang pegawainya yang
begitu dekat denganku, suatu ketika
memergoki mobil Mas Santoso diparkir
di depan rumah kost Sri.
Tangan kekar Bram yang dipenuhi bulu-
bulu lebat, meraih bagian belakang
leherku, dan dengan begitu otomatis
wajahku terdongak. Kesempatan itu tak
disia-siakannya, bibirku dilumatnya
dengan kecupan kuat disertai gelitikan
lidahnya. Tak lama kemudian, lidahnya
menjalar ke leher, dada, terus kebawah..
Aku menggelinjang beberapa kali, geli
campur nikmat. Aku yang sejak tadi tak
mengenakan sehelai pakaian pun,
membuatnya lebih gampang
mencumbuku. " Yang begini kan lebih
menyenangkan Mbak, daripada mikir
yang nggak-nggak", kata Bram sambil
membopong tubuhku ke atas ranjang.
Tapi anehnya, pada setengah angkatan
Bram menghentikan langkahnya. Ia
justru duduk di tepian ranjang, sambil
tetap memeluk tubuhku di atas
tubuhnya. Dalam posisi berhadap-
hadapan, aku duduk dipangkuannya.
Bram jadi leluasa mencumbu bagian
depan dadaku. Berkali-kali ia mencium
dan mengulum puncak dari dadaku. Aku
merasa nikmat yang luar biasa. Tapi
meski tubuhku meliuk-liuk menahan geli
dan kenikmatan yang begitu dahsyat,
Bram tak mencoba menghentikan
cumbuannya. Sebaliknya, ia semakin
ganas mencium dan mengulum, terus
begitu, berulang-ulang seperti tak pernah
bosan. Ketika kurasakan sesuatu
mengaliri sekujur tubuhku, dan
karenanya aku jadi sedikit tegang, sambil
tersenyum nakal, Bram sedikit
mengangkat tubuhku. Dengan kelihaian
luar biasa, tiba-tiba saja tubuh kami
sudah menyatu. Di atas pangkuannya,
aku mulai memacu. Cepat dan semakin
cepat. Sementara Bram dengan tatap
melenguh, berusaha mengimbangi
gerakanku dengan menggoyang-
goyangkan tubuhnya. Aduh, rasanya
aku melayang-layang dibuatnya.
Saat kelelahan mulai menyergap tubuh
kami, Bram berinisiatif dengan
mengubah posisi. Kami berbaring sambil
tetap berpagut mesra. Ia tetap
menggelutiku, bergerak-gerak di atas
tubuhku, dari samping maupun
belakang. Dan ketika sesuatu yang
menggelegak seakan hendak
termuntahkan, Bram memelukku erat-
erat sambil mendesis, "Oohh.. yes!"
Jauh sebelum dekat dengan Bram, aku
mengenal mitra kerja suamiku di
perusahaan jasa kontruksi, namanya
Pieter. Pria Manado yang menikah
dengan wanita asal Kediri itu ternyata
naksir berat kepadaku. Padahal ia sangat
tahu, aku ini istri kolega bisnisnya. Dari
kerlingan mata yang dilakukan
sembunyi-sembunyi, senyum penuh
arti, sampai terpukau di pantatku saat
Mas Santoso lengah.
Sampai suatu malam, ketika Pieter
datang ke rumahku, kemesraan itu
terjadilah. Sebab baru seperempat jam
Pieter duduk di ruang depan. Mas
Santoso pamit akan keluar sebentar
membeli sesuatu. Tinggallah aku dengan
Pieter meneruskan obrolan. Satu jam
lewat, perbincangan kami mulai
menemukan titik kejenuhan, tapi Mas
Santoso belum kembali juga. Sampai
akhirnya, tiba-tiba Pieter menyeletuk,
"Nggak usah ditunggu suamimu, paling-
paling ia kerumah Sri. Sebab siang tadi
lewat telepon, ia sudah janjian makan
malam dengan sekretaris itu."
Anehnya, meski menerima kabar tak
menyenangkan itu aku masih bisa
tertawa, tertawa lepas. Seperti tak ada
beban. Melihat sikapku tak berubah,
Pieter jadi semakin berani. Ia menyeret
kursinya mendekatiku. Ketika obrolan
kembali mengalir, kedua tanganku sudah
berada digenggamannya. Sampai
akhirnya dengan suara mendesah ia
berkata, "Kamu cantik sekali Tut. Kalau
Santoso sampai membiarkanmu merana
begini, rugi besar dia. Percayalah, semua
laki-laki akan mengatakan kamu cantik,
menggairahkan. Termasuk aku, begitu
mengagumimu."
Aku tahu, kata-kata yang meluncur dari
mulut Pieter benar-benar tulus. Justru.
Dengan pengakuannya itu, timbul
simpatiku kepadanya. Maka ketika Pieter
berdiri dan mulai memelukku, aku tak
berusaha menolak. Bahkan dengan
penuh perasaan, aku ganti mendekapnya
penuh kemesraan. Tapi rupanya, sudah
lama Pieter memendam sesuatu
kepadaku. Buktinya, ia tak cukup
memeluk dan menciumku untuk
menumpahkan perasaannya. Ketika
pagutan-pagutan hangat membuat kami
semakin terbakar, ia berani
membimbingku masuk ke kamar.
Dengan tenang, tanpa takut dipergoki
Mas Santoso, Pieter melanjutkan
cumbuannya sambil melolosi satu-
persatu pakaianku. "Sudah lama
sebenarnya gelora hati ini ingin
kutumpahkan kepadamu. Tapi aku
masih ragu, apakah engkau mau
menerimanya", ucap Pieter dengan nafas
memburu, sembari mendaratkan
ciuman-ciuman mautnya di wajah, leher
dan dadaku.
Dalam keadaan telentang, dan akhirnya
tanpa selembar kain pun, aku hanya bisa
pasrah, sambil berharap sesuatu yang
menyenangkan itu tiba juga, Tapi Pieter
agaknya pintar menyenangkan seorang
wanita, Geraknya tetap pelan, hati-hati
tapi penuh perasaan. Dan ketika
gerakanku sudah seperti cacing
kepanasan, ia mahfum bahwa saatnya
tiba. Dengan sepenuh hati, ia
menghimpitku dan mulai melakukan
gerakan-gerakan teratur naik turun.
Tetap pelan, tapi justru hal itu
membuatku penasaran. "Ayo Piet, cepat,
cepat..", Pintaku seperti kurang sabar.
Bagiku, sebuah pengalaman baru
melakukan hubungan intim dengan
tempo yang terkesan lambat, tapi
bertenaga dan penuh perasaan.
Ternyata, hasilnya jauh lebih
menyenangkan. Sampai akhirnya ketika
pelabuhan yang kami tuju sudah di
depan mata, aku baru sadar puncak
kepuasan itu telah kami raih bersama-
sama. Saking bahagianya, aku sampai
menangis sambil menggigit pundak
Pieter. "Kamu sungguh hebat", pujiku.
Lepas dari pelukan Pieter, seorang
pejabat di pemerintahan berhasil
menggaet hatiku. Pak Sos, namanya.
Usianya sudah hampir setengah abad,
tapi penampilan yang wangi dan rapi
sempat membuatku mabuk kepayang.
Satu hal lagi, ketika aku jatuh dalam
pelukan Pak Sos, suamiku-Mas Santoso-
sedang dililit persoalan keuangan
berkaitan dengan tendernya yang sepi
sebagai seorang kontraktor. Akibatnya,
hal itu jadi semacam faktor pendorong
intimnya hubunganku dengan Pak Sos.
Selain mendapatkan kepuasan biologis,
Pak Sos juga memberiku dukungan
finansial. Bahkan aku pernah dibelikan
sebuah rumah cukup mewah di
pinggiran kota, meski akhirnya dengan
alasan tertentu kujual lagi.
Aku pertama kali kenal dengan Pak Sos
berkaitan dengan proyek tender suamiku
yang belum turun juga. Karena berbagai
cara yang ditempuh untuk membujuk
Pak Sos yang punya kewenangan
menggolkan proyek itu, Mas Santoso
akhirnya minta bantuanku. "Mungkin
karena kamu seorang wanita, Pak Sos
bisa lunak hatinya", begitu harapan
suamiku.
Apa boleh buat, permintaan Mas Santoso
mesti kupenuhi. Ketika tiba di ruang
kerjanya yang besar dan ber-AC, kesan
yang muncul pertama saat bertatap
muka dengan Pak Sos adalah berwibawa
tapi cuek. Tanpa membuang-buang
waktu, aku mulai melancarkan jurus-
jurus rayuan. Tapi seperti yang kuduga,
Pak Sos tak gampang ditundukkan
dengan cara-cara klise begitu. Aku mulai
putus asa. Apalagi dengan angkuhnya
Pak Sos berujar, "Bilang sama suamimu,
nggak etis dia menyuruh istrinya
merayuku untuk mendapatkan tender.
Katakan padanya, apakah harga istrinya
cuma sebuah tender?"
Telingaku jadi panas, aku nyaris
menangis mendengarnya. Tapi meski
begitu, kira-kira sepekan kemudian
datang surat dinas dari kantor Pak Sos,
yang isinya menjelaskan bahwa beliau
setuju mendapatkan proyek yang
diinginkannya. Mas Santoso tampak
berbunga-bunga, tapi sebaliknya dengan
aku. Menyadari semua itu aku jadi muak.
Aku merasa telah dipermainkannya,
dijadikan umpan agar dia berhasil
mendapatkan proyek yang
diinginkannya.
Sampai suatu siang, ketika Mas Santoso
sudah berangkat ngantor, tanpa diduga
Pak Sos menelepon ke rumah. Mula-
mula, dia cuma basa-basi. Mulai
menanyakan soal rumah tangga sampai
menyinggung pekerjaan Mas Santoso,
"Apa kamu nggak tersinggung dengan
cara-cara suamimu mendapatkan tender
proyek, sampai melibatkan istrinya untuk
melobi-lobi begitu?" tanya Pak Sos.
Yang pasti dari pembicaraan pertelepon
selama 30 menit itu, aku akhirnya tahu
bahwa Pak Sos ternyata bukan tipe lelaki
yang cuek dan kaku seperti yang kuduga
sebelumnya. Sebaliknya, jika sudah
mengobrol cukup lama dengannya, aku
menyadari kalau ia cukup hangat dan
romantis sebagai lelaki. Lebih dari itu,
lewat suaranya yang serak-serak basah,
ia begitu perhatian pada lawan jenisnya.
Misalnya ketika aku mengutarakan
keinginan untuk bekerja, Pak Sos dengan
antusias menanggapi bahwa hal itu bisa
gampang kudapatkan, asal aku tak pilih
pekerjaan, atau berhitung soal
pendapatan yang kuperoleh, "Kalau mau,
ada lowongan di perusahaan milik kolega
yang saya jamin pasti mau
menerimamu. Kalau kamu serius,
datanglah besok ke kantorku. Kita
bicarakan lebih detil di sini", undangnya.
Keesokan hari, lewat tengah hari seperti
waktu yang kami sepakati, aku datang ke
kantor Pak Sos. Aku sempat kecewa
ketika sampai di depan pintu, ada tulisan:
Keluar. Artinya, seperti kebiasaan di
kantor-kantor pemerintah, si pejabat tak
ada di tempat karena sedang keluar
ruangan. Tapi saat aku termangu di
depan pintu, seorang bawahan Pak Sos
datang mendekati sambil berbisik, "Bu
Tut, silakan masuk saja, Pak Sos ada di
dalam kok. Ia sengaja membuat tulisan
begitu, agar tak ada yang
mengganggunya."
Pak Sos memang ada di ruangannya,
tersenyum-senyum di atas kursi
besarnya begitu melihat kedatanganku.
Aku dipersilakan duduk, sementara ia
membuka lemari es kecil untuk
mengambil 2 botol softdrink. Tak lama
kemudian kami tenggelam pada obrolan
yang lebih serius, menyangkut
keinginanku untuk bekerja. Ketika
pembicaraan berganti topik, soal
rumahtanggaku, soal hubanganku
dengan Mas Santoso, nada bicara Pak
Sos jadi terdengar lembut, teduh dan
begitu hangat. Tak terasa, ketika aku
begitu hanyut menceritakan nasib
perkawinanku, ia sudah berdiri begitu
dekat denganku. Ketika tetes-tetes air
mata membasahi pipiku, Pak Sos
dengan merengkuh pundakku dan
kemudian memelukku penuh perasaan.
Kami tenggelam dalam keharuan yang
dalam. Tapi ketika perasaan kami sudah
begitu menyatu, keharuan itu mendadak
saja jadi gelora yang berkobar-kobar,
manakala tangan Pak Sos yang sangat
terlatih mulai bergerak liar di bagian-
bagian tubuhku yang paling sensitif.
Ketika kancing-kancing blusku telah
terbuka semua, aku seperti tak sadar
kalah dalam posisi telentang di atas meja
kerja Pak Sos, dan ia dengan begitu
bernafsu, menghimpit dan
mencumbuiku.
Kami seperti 2 manusia yang kehilangan
akal. Di atas meja itu kami
memperagakan permainan aneh yang
yang menyenangkan, setelah Pak Sos
melepas pertahanan terakhir dari kain
paling tipis yang kukenakan. Nafas Pak
Sos memburu seiring dengan gerakan-
gerakan yang teratur. Di atas meja,
hanya dengan melihat langit-langit atap
ruangannya, aku terhentak-hentak dan
merasakan tubuhku seperti tengah
mengambang. Dan ketika puncak
kenikmatan telah kami raih bersama,
sadarlah aku bahwa hal itu seharusnya
tak kami lakukan di kantornya. Sambil
tersipu-sipu, aku membenahi kembali
pakaianku yang berantakan. Tapi Pak Sos
cepat menghibur, "Jangan merasa
bersalah, tenang-tenang saja. Mau
kuambilkan minuman lagi?"
Sejak beberapa bulan lalu, ia harus
pindah kerja di kota Malang karena ada
mutasi pekerjaan. Karena itu untuk
melipur kesepian hati, aku berkenalan
dengan Bram, pemuda tanggung yang
ternyata lebih bisa memuaskan soal
urusan ranjang, dibanding suami sahku,
Mas Santoso. Tentang laki-laki terakhir,
hingga detik ini masih terikat
perkawinanku meski ia sudah jarang
pulang, karena lebih suka menginap di
rumah Sri, sekretarisnya. Aku sendiri,
terus terang saja rasanya tak cukup siap
untuk menghentikan semua kesenangan
ini.


Adult | GO HOME | Exit
1/1643
U-ON

inc Powered by Xtgem.com